Sabtu, 21 April 2012

Ketahanan Nasional

Nama  : Irna Diniasari
Kelas  : 2EA13
NPM    : 13210623


Pelanggaran Perbatasan dalam Wacana Ketahanan Nasional

A. Pendahuluan
Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono mengatakan, tingkat pelanggaran keamanan di wilayah laut Indonesia hingga tahun 2010 masih cukup tinggi. Hasil operasi penegakan kedaulatan dan hukum di laut di tahun 2010, setidaknya terdapat 37 kasus pelanggaran wilayah oleh negara tetangga.”Banyaknya kasus menunjukkan keberhasilan kinerja TNI AL, tapi juga pelanggaran di wilayah laut memang masih tinggi,” kata Panglima dalam konferensi pers dalam rangka evaluasi kinerja TNI tahun 2010 di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta, Jum’at (31/12).


Panglima mengatakan, tingginya tingkat pelanggaran di wilayah laut karena sistem perijinan yang masih perlu diperbaiki. Sistem perijinan ini dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, sementara TNI berwenang menjaga daerah perbatasan.Tumpang tindihnya sistem ijin itulah yang menyebabkan tingginya tingkat pelanggaran. “Yang masih banyak memang pencurian ikan, dan paling banyak menyumbang kasus dari daerah timur Indonesia,” kata Panglima.Hasil operasi TNI, kata Panglima, mampu memberikan kontribusi kepada negara berupa perampasan barang bukti sitaan sebesar Rp 37,97 miliar. Selain itu, potensi kekayaan yang dapat diselamatkan sebesar Rp 13,42 miliar.


Untuk mengurangi munculnya pelanggaran pada tahun-tahun mendatang, TNI akan meningkatkan kerja sama dan koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, khususnya soal ijin penangkapan ikan dan biota laut oleh kapal nelayan asing.Dalam konferensi pers ini, Panglima didampingi Inspektur Jenderal TNI Letnan Jenderal M. Noer Muis, Kapuspen TNI Laksamana Muda TNI Iskandar Sitompul, dan Kepala Staf Umum TNI Marsekal Madya TNI Edi Hardjoko. 

B. Pembahasan
Kondisi kehidupan nasional merupakan pencerminan ketahanan nasional yang mencakup aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan sehingga ketahanan nasional adalah kondisi yang harus dimiliki dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah negara kesatuan republik indonesia yang dilandasi UUD 1945 dan landasan visional wawasan nusantara. Untuk mewujudkan keberhasilan ketahanan nasional diperlukan kesadaran setiap warga negara Indonesia dalam berbagai aspek yaitu:
1. Aspek Ekonomi
Pencapaian tingkat ketahanan ekonomi memerlukan pembinaan sebagai berikut:
a. Sistem ekonomi Indonesia diarahkan untuk dapat mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan merata di seluruh wilayah nusantara melalui ekonomi kerakyatan
b. Ekonomi kerakyatan harus menghindari sistem free fight liberalism, etatisme dan monopoli ekonomi
c.   Pembangunan ekonomi merupakan usaha bersama atas asas kekeluargaan
d. Pemerataan pembangunan dan pemanfaatan hasilnya dengan memperhatikan keseimbangan dan keserasian pembangunan antar wilayah dan antar sektor

2. Aspek Sosial Budaya
Untuk mewujudkan keberhasilan ketahanan sosial budaya warga negara Indonesia perlu:
Kehidupan sosial budaya bangsa dan masyarakat indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras, serasi, seimbang serta mampu menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional

3. Aspek Pertahanan Keamanan
Untuk mewujudkan keberhasilan ketahanan nasional setiap warga negara Indonesia perlu memiliki:
a. Memiliki semangat perjuangan bangsa dalam bentuk perjuangan non fisik yang berupa keuletan dan ketangguhan yang tidak pantang menyerah yang mengandung kemampuan mengembangkan mengembangkan kekuatan nasioanl dalam rangka menghadapi segala ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dalam, untuk menjamiin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuanagn mencapai tujuan nasional
b. Sadar dan peduli terhadap pengaruh-pengaruh yang timbul pada aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan sehingga setiap warga negara Indonesia secara individu maupun kelompok dapat mengeliminir pengaruh tersebut. Apabila warga negara Indonesia memiliki semangat perjuangan bangsa dan sadar serta peduli terhadap pengaruh yang timbul dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dapat mengeliminir pengaruh-pengaruh tersebut, maka akan tercermin keberhasilan ketahanan nasional.

4. Aspek Ilmu Pengetahuan
Untuk mencapai percepatan kemandirian dan kesejahteraan berbasis dukungan ilmu pengetahuann dan teknologi (iptek) dapat dilakukan melalui penguatan empat pilar knowledge based economy (KBE), antara lain:
a. Sistem pendidikan
b. Sistem inovasi
c. Infrastruktur masyarakat informasi
d. Kerangka kelembagaan dan peraturan perubndangan

C. Kesimpulan
Dalam penanganan masalah kedaulatan, perlu adanya suatu koordinasi dalam berbagai aspek ketahanan nasional, satu aspek saja belum tentu mencukupi untuk dilakukan upaya penanganan nasional. Penanganan secara menyeluruh dan berkelanjutan adalah upaya yang baik dalam permasalahan kedaulatan nasional.


Selasa, 27 Maret 2012

Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia

Nama : Irna Diniasari
Kelas : 2EA13
NPM : 13210623


       Menurut pendapat anda bagaimanakah hak dan kewajiban warga negara di Indonesia? Sudah sesuaikah dengan UUD yang ada? Bandingkan dengan negara lain!

       Menurut saya hak dan kewajiban warga negara di Indonesia belum terlaksana dengan baik karena masih banyak warga negara Indonesia yang belum mendapatkan haknya dan memenuhi kewajibannya. Berikut ini adalah beberapa contoh mengenai pemenuhan hak dan kewajiban warga negara di Indonesia:
1. Masih sering kita jumpai anak-anak yang menjadi pengemis atau pengamen di jalan raya dan tidak dapat menempuh pendidikan di bangku sekolah .
    Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dimajukan, dilindungi, dipenuhi, dan dijamin oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Di Indonesia, perlindungan anak salah satunya diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, hak anak antara lain beribadah menurut agamanya, mendapatkan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan dan pengajaran, mengutarakan pendapatnya sesuai tingkat kecerdasan dan usianya, memanfaatkan waktu luang untuk bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya dalam rangka pengembangan diri.
     Sesuai dengan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercermin dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu bahwa Pemerintah Negara Indonesia antara lain berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 juga menetapkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Oleh karena itu seharusnya kita tidak jumpai lagi anak-anak yang menjadi pengemis atau pengamen melainkan menempuh pendidikan di bangku sekolah.
2. Masih banyak para TKI (khususnya TKW) di luar negeri yang menderita dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia.
       Meningkatnya jumlah TKI untuk bekerja di luar negeri memang berkaitan erat dengan keberhasilan para TKI dalam bekerja di luar negeri, sehingga mendorong masyarakat memberi dukungan untuk bekerja di luar negeri. Akan tetapi, besarnya jumlah TKI yang bekerja di luar negeri itu harusnya diimbangi dengan adanya peningkatan pelayanan dan perlindungan TKI sejak menjelang penempatan hingga kembali ke tanah air.
       Dengan disahkannya Undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, maka semakin jelas dan nyata kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengatur penempatan TKI. 
         Dalam pasal 31 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 dinyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.”  Kemudian dalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa “Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.
         Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut seharusnya para TKI sebagai penghasil devisa bagi Indonesia tidak mengalami penderitaan dan mendapat perlindungan.
3. Masih banyak anggota DPR yang tidak bekerja dengan baik sewaktu sidang, kurang mementingkan kepentingan rakyat dan banyak melakukan tindak pidana korupsi.
         Anggota DPR mempunyai kewajiban:
  • memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
  • melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan
  • mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
  • mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan
  • memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat
  • menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
  • menaati tata tertib dan kode etik
  • menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain
  • menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala
  • menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
  • memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya
   Pasal 27 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu dengan tidak ada kecualinya”. 
     Berdasarkan ketentuan tersebut sudah seharusnya anggota DPR menjunjung tinggi hukum dan tidak melakukan hal yang bertentangan dengan hukum tersebut.
4. Masih banyak Pegawai Negeri Sipil yang mangkir di waktu kerja dan ber-social network dengan memanfaatkan fasilitas internet di tempat kerja pada jam kerja.
       Undang – Undang Pokok Kepegawaian yaitu Undang – Undang No. 8 Tahun 1974 telah dirubah melalui UU No.43 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil, adalah suatu landasan hukum untuk menjamin pegawai negeri dan dapat di jadikan dasar untuk mengatur penyusunan aparatur negara yang baik dan benar. Penyusunan aparatur negara menuju kepada administrasi yang sempurna sangat bergantung kepada kualitas pegawai negeri dan mutu kerapian organisasi aparatur itu sendiri. 
     Dapat di ketahui bahwa kedudukan Pegawai Negeri Sipil adalah sangat penting dan menentukan. Berhasil tidaknya misi dari pemerintah tergantung dari aparatur negara karena pegawai negeri merupakan aparatur negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam mewujudkan cita-cita pembangunann nasional. 
    Tujuan pembangunan nasional sebagaimana telah termaktub didalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 ialah melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pembangunan tersebut dapat di capai dengan melalui pembangunan nasional yang direncanakan dengan terarah dan realitas serta dilaksanakan secara bertahap, bersungguh – sungguh.
     Tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, merata dan berkesinambungan antara materiil dan spirituil yang berdasarkan pada Pancasila di dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia.
   Oleh sebab itu seharusnya para Pegawai Negeri Sipil bekerja dengan baik agar pembangunan nasional bisa tercapai.

Berdasarkan contoh-contoh diatas dapat diketahui bahwa hak dan kewajiban warga negara di Indonesia masih banyak yang belum sesuai dengan UUD 1945.

Jika dibandingkan dengan negara Korea Selatan sebuah negara di Asia Timur dimana kita dapat menyaksikan betapa ampuhnya hukum ditegakkan termasuk dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Siapa yang salah atau diduga melakukan kesalahan termasuk korupsi langsung ditindak lalu diseret ke tahanan untuk kemudian diadili. Tidak terkecuali bagi semua kerabat pejabat tinggi yang masih aktif, bahkan juga putera-putera presiden yang sedang berkuasa.
Mengapa pemerintah negara-negara tetangga kita seperti pemerintah Korea Selatan berani konsekuen menegakkan hukum? Jawabnya, karena mereka tahu bahwa kunci menyelamatkan negara dari ancaman krisis kewibawaan dan mengatasi krisis ekonomi ialah dengan cara menunjukkan kepada rakyat bahwa hukum berlaku tegas tanpa diskriminasi di Korea Selatan. Ternyata ada 4 (empat) hal positif yang dapat ditarik dari praktek penegakkan hukum yang tegas, dan rupa-rupanya inilah yang melatarbelakangi kebijakan Pemerintah Korea Selatan untuk secara tegas mengambil tindakan hukum terhadap para koruptornya tanpa kecuali.
Pertama, penegakan hukum secara tegas dapat memulihkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Rakyat akan sepenuh hati mendukung pemerintahnya karena mereka melihat pemerintahnya tidak bermain-main dengan hukum. Dengan demikian rakyat akan senantiasa memenuhi kewajibannya sebagai warga negara.
Kedua, dengan tindakan penegakan hukum yang tegas berarti melakukan pendidikan sekaligus pencegahan berlanjutnya korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah sendiri.
Ketiga, dapat dilakukan penyelamatan aset negara. Mengapa? Karena dengan adanya penegakan hukum tersebut aset negara yang mudah dikorup sebelum dilakukan tindakan tegas, kini dapat diselamatkan demi pembangunan dan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenuhi hak-hak rakyat.
Keempat, para penanam modal tidak ragu-ragu menanamkan modalnya di Korea Selatan karena oknum pejabat/pengusaha di Korea Selatan tidak akan leluasa lagi mengkorup modal yang ditanam sebagai akibat tindakan tegas pemerintah dalam penegakan hukum.



Senin, 26 Maret 2012

Tugas Kelompok: Pelanggaran Demokrasi dan HAM dalam "Tragedi Trisakti"

Nama : Irna Diniasari

Kelas : 2EA13

NPM : 13210623

 

 

BAB  I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.


1.2. Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
1.2.1        Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ingin penulis kemukakan adalah melakukan pembahasan mengenai tragedi Trisakti.

1.2.2        Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih mengetahui dan memahami tentang pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia pada era kepemimpinan Soeharto.


1.3. Manfaat Penelitian
            Melalui kegiatan penelitian ini, penulis berharap akan mendapatkan  banyak manfaat. Adapun manfaat-manfaat dari penelitian tersebut diantaranya adalah :
 1.       Manfaat Akademis
·           Menambah wawasan dan pengetahuan  mengenai pelanggaran demokrasi yang pernah terjadi di Indonesia.
·          Penulisan ini dapat dijadikan sumber informasi bagi penelitian lanjutan di bidang yang sama.
       2.       Manfaat Praktis
·     Sebagai media untuk menyalurkan informasi yang efektif mengenai pelanggaran demokrasi yang pernah terjadi di Indonesia.


1.4. Metode Penelitian
              Dalam penelitian tugas ini penulis memerlukan informasi yang akurat agar dapat dicapai suatu pembahasan yang rasional, untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penyusunan tugas ini menempuh cara dengan menggunakan metode :
 1.4.1  Objek Penelitian
           Objek penelitian yang penulis amati ini adalah korban tewas dalam demokrasi besar-besaran yang terjadi di depan Gedung MPR/DPR tahun 1998.

1.4.2 Metode Pengumpulan Data
            Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam menyusun tugas ini adalah sebagai berikut :
 1.      Studi Pustaka
Adapun studi pustaka ini diperoleh dari beberapa literatur, baik berupa buku-buku perpustakaan dan artikel-artikel dari internet.
 2.      Konsultasi dan Diskusi
Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan masukan dari pihak-pihak yang berkompeten didalam bidang ini, sehingga secara konsep, kegiatan dalam tugas ini dapat dipertanggungjawabkan.


1.5. Sistematika Penulisan
      Untuk memisahkan dalam menyelesaikan penulisan ini penulis membagi isinya menjadi 4 (empat) bab sebagai berikut :
BAB       I        PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
         BAB       II      PEMBAHASAN
Berisi tentang pengertian demokrasi, sistem demokrasi di Indonesia beserta undang-undang demokrasi yang berlaku di Indonesia.
         BAB       III     PERMASALAHAN
Berisi tentang sejarah singkat tragedi Trisakti dan kronologis tragedi Trisakti.
         BAB       IV     PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran dari masalah yang dibahas di dalam penulisan ini.




BAB  II


PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.

2.2.  Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia

1.      Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Periode panjang pergerkan nasional yang didominasi oleh muncuolnya organisasi modern digantikan periode revolusi nasional. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan merupakan kisah sentral sejarah indonesia. Semua usaha untuk mencari identitas (jati) diri, semangat persatuan guna menghadapi kekuasaamn kolonial, dan untuk membangun sebuah tatanan sosial yang adil akhirnya membuahkan hasil dengan diproklamasikannya kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

        Pada masa revolusi 1945 – 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya dan antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal revolusi tidak satupun perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan. Semua permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok kekuatan itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan pertama bangsa indonesia adalah kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.

2.      Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Setelah indonesi merdeka, kini menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri. Warisan yang ditinggalkan pemerintahan kolonial berupa kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan tradisi otoriter merupakan merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para pemiipin nasional indonesia. Pada periode tahun 1950-an muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam yang memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di indonesia.

Undang – Undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri yang mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70).

            Pada umumnya kabinet dalam masa pra pemilu tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan dalam untuk melaksanakan programnya. Pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.

            Mengingat kondisi yang harus di hadapi pemerintah indonesia pada kurun waktu 1950-1959, maka tidak mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi mengaklami kegagalan karena dasar untuk dapat membangun demokrasi hampir tidak dapat ditemukan. Mereka yang tahu politik hanya sekelompok kecil masyarakat perkotaan. Para politisi jakarta, meskipun mencita-citakan sebuah negara demokrasi. Kebanyakan adalah kaum elite yang menganggap diri mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang istimewa. Mereka bersikap paternalistik terhadap orang-orang yang kurang beruntung yakni masyarakat pedesaan. Tanggung jawab mereka terhadap struktur demokrasi parlementer yang merakyat adalah sangat kecil. Banguan indah sebuah demokrasi parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan kokoh.

3.      Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Di tengah-tengah krisis tahun 1957 dan pengalaman jatuh bangunnya pemerintahan, mengakibatkan diambilmnya langkah-langkah menuju suatu pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang didominasi oleh kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini terdapat beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada berusha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan legitimasi, bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal dalam penjelasn UUD 1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak berwenang membubarkan DPR.

Melalui demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn politik yang mherupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depan bangsanya, tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima oleh pimpinan nasional lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya tidak dapat terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi Pancasila.

4.      Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1966 pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas negara hukum dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindarkan secara institusional. Dalam rangka mencapai hal tersebut, lembaga-lembaga dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi (Miriam, 74).

         Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang bebas dan benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol sosial. Kekuatan sosial politik yang diikutsertakan dalam pemilu dibatasi. Mereka tidak lebih dari suatu perhiasan dan mempunyai arti seremonial untuk dipertontonkan kepada dunia internasional bahwa indonesia telah benar-benar berdemokrasi, padahal yang sebenarnya adalah kekuasaan yang otoriter. Partai-partai politik dilarang berperan sebagai oposisi maupun kontrol sosial. Bahakan secara resmi oposisi ditiadakan dengan adanya suatu “konsensus nasional”. Pemerintahan Soeharto juga tidak memberikan check and balances sebagai prasyarat dari sebuah negara demokrasi (sarbini Sunawinata, 1998 ;8).

Pada masa orde baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua sikap ini menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang pemimpin. Mental paternalistik mengakibatkan soeharto tidak boleh dikritik. Para menteri selalu minta petunjuk dan pengarahan dari presiden. Siakp mental seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus, sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.

5.      Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Lembaga-lembaga di luar presiden dan TNI tidak mempunyai arti apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa indonesia menjadi tanggung jawab presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat indonesia untuk mengoreksi pelaksanaan demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis demokrasi yang dipraktekkan adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik.

Agaknya pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi yang selama inidikebiri oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers (freedom of press) dan kebebasab berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh.

Sistem Pemerintahan Demokrasi Pancasila

Landasan formil dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD 45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai berikut:
1.      Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2.      Indonesia menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3.      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu:
a.       Menetapkan UUD;
b.      Menetapkan GBHN; dan
c.       Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden


Prinsip-prinsip demokrasi

 Rakyat dapat secara bebas menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
  1. Kedaulatan rakyat;
  2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
  3. Kekuasaan mayoritas;
  4. Hak-hak minoritas;
  5. Jaminan hak asasi manusia;
  6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
  7. Persamaan di depan hukum;
  8. Proses hukum yang wajar;
  9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
  10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
  11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

 

Asas pokok demokrasi

Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
  1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
  2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.

 

Ciri-ciri pemerintahan demokratis

Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik.
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
  1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
  2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
  3. Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
  4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
  5. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
  6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
  7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
  8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
  9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).


 


BAB III
PERMASALAHAN


3.1 Sejarah Singkat Tragedi Trisakti
Kejatuhan perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka didengarkan.
Demonstrasi digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta, sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.

Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta geger dan mencekam.

3.2  Kronologis Tragedi Trisakti
 Kronologi Insiden Berdarah di Universitas Trisakti 12 Mei 1998 adalah sebagai berikut :
Pukul 11.00 – 13.00: Aksi Damai ribuan mahasiswa di dalam kampus.
 Pukul 13.00 : Mahasiswa ke luar ke Jalan S Parman dan hendak menuju ke DPR.
Pukul 13.15 : Dicapai kesepakatan antara petugas dan mahasiswa, bahwa mahasiswa tidak boleh melanjutkan perjalanan. Tawaran petugas diterima baik. Mahasiswa melanjutkan aksi di depan bekas Kantor Wali Kota Jakbar.
Pukul 13.30-17.00 : Aksi Damai Mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa.
Pukul 16.30: Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
Pukul 17.00: Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
Pukul 17.15: Tiba-tiba ada tembakan dari arah belakang barisan mahasiswa. Mahasiswa lari menyelamatkan diri ke dalam gedung-gedung di kampus. Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
Pukul 17.15-23.00: Situasi di kampus tegang. Para korban dirawat di beberapa tempat. Enam mahasiswa Trisakti tewas. Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.


13 Mei 1998 :
Pukul 01.30: Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Usakti Prof Dr Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas, HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto. (ama/cc)
Pada hari Selasa, 12 Mei 1998 dimulai kurang lebih jam 10.30 Wib bertempat di halaman parkir kampus A Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa Grogol Jakarta Barat, telah diadakan Mimbar Bebas oleh Senat Mahasiswa Universitas Trisakti yang dihadiri oleh para Guru Besar, Pimpinan Universitas dan Fakultas, Dosen, Karyawan, Alumni dan Mahasiswa.
Universitas Trisakti dari berbagai Fakultas berjumlah kurang lebih 6000 orang. Aksi mimbar bebas tersebut berlangsung tertib dengan menggelar Orasi oleh para guru besar, para Dosen dan para Mahasiswa sendiri, berlangsung sampai kurang lebih jam 11.30 Wib.
Setelah itu tanpa dapat dibendung , mahasiswa secara berbondong-bondong pergi meninggalkan kampus keluar ke jalan raya S.Parman degan tujuan mereka hendak ke gedung MPR/DPR. Namun setibanya di depan kantor Walikota Jakarta Barat yng berjarak kurang lebih 200 M dari kampus Trisakti, mereka dihadang oleh Aparat Keamanan.
Semula Aparat keamanan ini hanya terdiri dari 2 lapis, dihadiri juga oleh Komandan Kodim Jakarta Barat Let.Kol.AMRIL dan Wakil Kapolres Jakarta Barat Mayor Herman. Para Mahasiswa meminta agar diadakan negosiasi yang isinya agar mereka diijinkan berbaris secara tertib menuju Gedung MPR/DPR dengan dikawal oleh Pasukan Keamanan yang ada.
Para Mahasiswa diwakili oleh Dekan Fakultas Hukum Adi Andojo Soetjipto SH mengadakan negosiasi dengan Komandan Kodim Jakarta Barat Let.Kol. Amril tersebut. Namun negosiasi tidak berhasil karena Dan.Dim mengatakan adalah perintah atasan bahwa mahasiswa tidak diperkenankan turun ke jalan disebabkan oleh kemungkinan terjadinnya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan yang tak diinginkan.
Berhubung negosiasi tak berhasil, dekan Fakultas Hukum meminta pada para mahasiswa agar berhenti di tempat dan tidak maju lagi. Para mehasiswa menuruti anjuran Dekan Fakultas Hukum tersebut. Mereka lalu menyanyi dan meneriakkan yel-yel, akan tetapi semuanya itu dilakukan secara tertib meskipun harus diakui bahwa lalu lintas arah Grogol menuju Senayan memang menjadi macet. Sementara itu pasukan keamanan ditambah jumlahnya dengan 2 Truk dan 5 Panser oleh Arthur Damanik.
Kurang lebih jam 15.30 WIB, ada pemberitahuan dari pihak keamanan bahwa unjuk rasa mahasiswa hanya diberi waktu sampai jam 16.00 WIB. Dekan Fakultas Hukum dengan ditemani oleh Dekan Fakultas Ekonomi DR. Chairuman, datang di tempat dimana para mahasiswa tadi berkumpul di jalan S.Parman jumlahnya tinggal kurang lebih 1000 orang karena yang selebihnya sudah meninggalkan tempat. Dekan Fakultas Hukum dan Dekan Fakultas Ekonomi berusaha membujuk para mahasiswa untuk membubarkan diri dan kembali ke kampus. Para Mahasiswa menuntut agar para pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu.
Karena tak diperintahkan oleh komandannya sudah barang tentu mereka tidak mau mundur . Mahasiswa minta agar komandannya dipanggil untuk naik ke atas meja dan bertemu dengan para mahasiswa. Akhirnya Kapolres Jakarta Barat (Let. Kol Timor Pradopo) dan Dan.Dim Jakarta Barat (Let. Kol. Amril) memenuhi keinginan mahasiswa dengan memanjat ke atas meja. Kapolres Jakarta Barat dalam sambutannya menyatakan rasa terima kasihnya bahwa mahasiswa sudah melakukan aksi unjuk rasa itu dengan tertib. Hal ini dengan tegas diucapkan oleh Kapolres Jakarta Barat tersebut.
Selanjutnya barisan keamanan diperintahkan untuk mundur jauh kebelakang kurang lebih 200 meter. Setelah para mahasiswa dihimbau oleh Dekan Fakultas Hukum dan Dekan Fakultas Ekonomi, akhirnya mereka juga mau membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib kembali ke kampus hal ini ditambah dengan hujan yang turun dengan derasnya.
Sebagian masih tertahan di luar kampus sebagaimana layaknya kalau pulang kuliah, memesan makanan di pedagang yang banyak berjualan di luar kampus. Saat itu hujan sudah mulai reda. Disaat mahasiswa sebagian berjalan kembali ke kampus, tiba-tiba terdengar suara tembakan yang mengakibatkan mahasiswa yang telah berada di dalam kampus kembali bergerak menuju gerbang kampus.
Massa mahasiswa didesak oleh petugas untuk masuk ke dalam kampus dengan mengeluarkan tembakan-tembakan. Petugas telah berada di luar areal kampus bahkan di jalan layang yang berhadapan dengan kampus Universitas Trisakti. Tembakan dilakukan oleh aparat tidak hanya terbatas pada peluru karet tetapi juga peluru tajam dan puluhan gas air mata dilemparkan kedalam kampus Trisakti. Hal ini terbukti dengan diketemukannya selongsong peluru dan bekas gas air mata.
Puluhan mahasiswa yang berlarian ke dalam kampus ditembaki dari luar kampus dan sampai dengan jam 23.25 Wib, Enam Mahasiswa Trisakti meninggal dunia disamping Enam Belas Mahasiswa dirawat di rumah sakit terdekat berdasarkan data-data yang terkumpul dari petugas Universitas Trisakti.




BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan : Konflik sebenarnya tidak perlu terjadi sebab hal tersebut dapat menjadikan hubungan antar anggota atau individu menjadi kurang harmonis. Selain itu konflik juga menyebabkan perubahan kepribadian antar individu sehingga menimbulkan rasa dendam, benci, ketidakpengertian, kecurigaan, serta hilangnya rasa kemanusiaan.

Saran :
a.       Pemerintah perlu mengadakan penyelidikan lebih lanjut mengenai peristiwa Trisakti 1998
b.      Pemerintah juga perlu menindaklanjuti kasus-kasus lain yang terkait dengan tragedi Trisakti, agar di kemudian hari peristiwa yang serupa tidak terulang lagi.
c.       Pemerintah harus segera memberikan jaminan bagi para saksi dan korban dengan membuat undang-undang.
d.      Pemerintah harus memberikan rehabilitasi dan kompensasi kepada seluruh saksi, korban, dan keluarga kerusuhan.