Nama : Irna Diniasari
Kelas : 2EA13
NPM : 13210623
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi
besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk
mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka
melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa
mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya,
pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya
aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung
di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan.
Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan
pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan
Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Styer,
dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang
mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak
aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.
1.2. Rumusan Masalah
dan Tujuan Penelitian
1.2.1
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang ingin penulis kemukakan adalah melakukan pembahasan mengenai tragedi Trisakti.
1.2.2
Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih mengetahui dan memahami
tentang pelanggaran demokrasi dan
hak asasi manusia di Indonesia pada era kepemimpinan Soeharto.
1.3. Manfaat Penelitian
Melalui kegiatan penelitian ini,
penulis berharap akan mendapatkan banyak manfaat. Adapun manfaat-manfaat dari penelitian tersebut diantaranya adalah :
1.
Manfaat
Akademis
·
Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pelanggaran demokrasi yang pernah terjadi di Indonesia.
· Penulisan ini dapat dijadikan sumber informasi
bagi penelitian lanjutan di bidang yang sama.
2. Manfaat Praktis
· Sebagai media untuk menyalurkan informasi yang
efektif mengenai pelanggaran
demokrasi yang pernah terjadi di Indonesia.
1.4.
Metode Penelitian
Dalam penelitian tugas ini penulis
memerlukan informasi yang akurat agar dapat dicapai suatu pembahasan yang
rasional, untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penyusunan tugas ini menempuh cara dengan menggunakan metode :
Objek penelitian
yang penulis amati ini adalah korban
tewas dalam demokrasi besar-besaran yang terjadi di depan Gedung MPR/DPR tahun
1998.
1.4.2 Metode
Pengumpulan Data
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam
menyusun tugas ini adalah sebagai berikut :
1. Studi Pustaka
Adapun studi pustaka ini
diperoleh dari beberapa literatur, baik berupa buku-buku perpustakaan dan
artikel-artikel dari internet.
Langkah ini dilakukan untuk
mendapatkan tambahan pengetahuan dan masukan dari pihak-pihak yang berkompeten
didalam bidang ini, sehingga secara konsep, kegiatan dalam tugas ini dapat
dipertanggungjawabkan.
1.5. Sistematika Penulisan
Untuk memisahkan dalam menyelesaikan penulisan ini penulis membagi isinya menjadi 4 (empat) bab sebagai berikut :
Untuk memisahkan dalam menyelesaikan penulisan ini penulis membagi isinya menjadi 4 (empat) bab sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Berisi tentang pengertian demokrasi, sistem demokrasi di Indonesia beserta undang-undang demokrasi yang berlaku
di Indonesia.
BAB III PERMASALAHAN
Berisi tentang sejarah singkat tragedi Trisakti dan kronologis tragedi
Trisakti.
BAB IV PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran dari masalah yang dibahas di dalam penulisan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk
atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut.
Salah
satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif)
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu
sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga
jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif
dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki
kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif
dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai
aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan
umum legislatif,
selain sesuai hukum
dan peraturan.
Selain
pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya
pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan
umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara,
namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan
umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai
hak pilih).
Kedaulatan
rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden
atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih
luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung
tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat
memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak
kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu
pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir
lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola,
bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal
sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek
daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.
Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu,
misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
Isitilah
“demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5
SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem
yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini
telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata
“demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal
ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi
menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah
(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat
yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian
pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan
tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan
membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus
akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang
mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu
secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga
negara tersebut.
2.2.
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Indonesia
1.
Demokrasi Kerakyatan Pada Masa Revolusi
Periode panjang
pergerkan nasional yang didominasi oleh muncuolnya organisasi modern digantikan
periode revolusi nasional. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan
merupakan kisah sentral sejarah indonesia. Semua usaha untuk mencari identitas
(jati) diri, semangat persatuan guna menghadapi kekuasaamn kolonial, dan untuk
membangun sebuah tatanan sosial yang adil akhirnya membuahkan hasil dengan
diproklamasikannya kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa revolusi 1945 – 1950 banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya dan antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal revolusi tidak satupun perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan. Semua permasalahan itu baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok kekuatan itu duduk satu meja untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan pertama bangsa indonesia adalah kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.
2.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Parlementer
Setelah indonesi
merdeka, kini menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri. Warisan yang
ditinggalkan pemerintahan kolonial berupa kemiskinan, rendahnya tingkat
pendidikan dan tradisi otoriter merupakan merupakan pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan para pemiipin nasional indonesia. Pada periode tahun 1950-an
muncul kaum nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam
yang memegang kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua
kelompok inilah yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di
indonesia.
Undang – Undang
dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif
terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri
yang mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan
koalisi pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi
ternyata kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi
tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai
dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang
menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif
dari tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70).
Pada umumnya kabinet dalam masa pra pemilu tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan dalam untuk melaksanakan programnya. Pemilu tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
Mengingat kondisi yang harus di hadapi pemerintah indonesia pada kurun waktu 1950-1959, maka tidak mengherankan bahwa pelaksanaan demokrasi mengaklami kegagalan karena dasar untuk dapat membangun demokrasi hampir tidak dapat ditemukan. Mereka yang tahu politik hanya sekelompok kecil masyarakat perkotaan. Para politisi jakarta, meskipun mencita-citakan sebuah negara demokrasi. Kebanyakan adalah kaum elite yang menganggap diri mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang istimewa. Mereka bersikap paternalistik terhadap orang-orang yang kurang beruntung yakni masyarakat pedesaan. Tanggung jawab mereka terhadap struktur demokrasi parlementer yang merakyat adalah sangat kecil. Banguan indah sebuah demokrasi parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan kokoh.
3.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Terpimpin
Di tengah-tengah
krisis tahun 1957 dan pengalaman jatuh bangunnya pemerintahan, mengakibatkan
diambilmnya langkah-langkah menuju suatu pemerintahan yang oleh Soekarno
dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang didominasi oleh
kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin
diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini
terdapat beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya partai-partai
politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik yang ada
berusha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan legitimasi,
bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno membubarkan DPR
hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal dalam penjelasn UUD
1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak berwenang membubarkan
DPR.
Melalui
demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn politik yang
mherupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan
kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang
masa depan bangsanya, tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima
oleh pimpinan nasional lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya
tidak dapat terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri
periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi
Pancasila.
4.
Demokratisasi Dalam Demokrasi Pancasila
Pada tahun 1966
pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit
sebagai reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir
seluruh kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan
rezim lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi
Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas negara hukum
dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik dalam aspek
kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat
dihindarkan secara institusional. Dalam rangka mencapai hal tersebut,
lembaga-lembaga dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi
(Miriam, 74).
Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari cita-citanya semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang bebas dan benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol sosial. Kekuatan sosial politik yang diikutsertakan dalam pemilu dibatasi. Mereka tidak lebih dari suatu perhiasan dan mempunyai arti seremonial untuk dipertontonkan kepada dunia internasional bahwa indonesia telah benar-benar berdemokrasi, padahal yang sebenarnya adalah kekuasaan yang otoriter. Partai-partai politik dilarang berperan sebagai oposisi maupun kontrol sosial. Bahakan secara resmi oposisi ditiadakan dengan adanya suatu “konsensus nasional”. Pemerintahan Soeharto juga tidak memberikan check and balances sebagai prasyarat dari sebuah negara demokrasi (sarbini Sunawinata, 1998 ;8).
Pada masa orde
baru budaya feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua sikap ini
menganggap pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya patuh
dengan sang pemimpin. Mental paternalistik mengakibatkan soeharto tidak boleh
dikritik. Para menteri selalu minta petunjuk dan pengarahan dari presiden.
Siakp mental seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial
dan pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus,
sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai
tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru
mengalami krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.
5.
Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde Reformasi
Melalui gerakan
reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto.
Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang
didukung sepenuhnya oleh TNI. Lembaga-lembaga di luar presiden dan TNI tidak
mempunyai arti apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa indonesia menjadi
tanggung jawab presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat indonesia untuk
mengoreksi pelaksanaan demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis
demokrasi yang dipraktekkan adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan
warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan
politik.
Agaknya
pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi
yang selama inidikebiri oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan habibie
menyuburkan kembali alam demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers
(freedom of press) dan kebebasab berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat
berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan
yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh.
Sistem Pemerintahan
Demokrasi Pancasila
Landasan formil
dari periode Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD 45 serta
Ketetapan-ketetapan MPRS. Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila
menurut prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945
berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu sebagai berikut:
1. Indonesia
ialah negara yang berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa baik pemerintah
maupun lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan apapun harus
dilandasi oleh hukum dan tindakannya bagi rakyat harus ada landasan hukumnya.
Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di
dalamnya.
2. Indonesia
menganut sistem konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak
bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem
konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan
tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi, di samping oleh
ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang merupakan pokok konstitusional, seperti
TAP MPR dan Undang-undang.
3. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu,
bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara
yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu:
a. Menetapkan
UUD;
b.
Menetapkan GBHN; dan
c.
Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Prinsip-prinsip demokrasi
Rakyat dapat secara bebas
menyampaikan aspirasinya
dalam kebijakan politik dan sosial.
Prinsip demokrasi
dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi
Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal
dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi
adalah:
- Kedaulatan rakyat;
- Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
- Kekuasaan mayoritas;
- Hak-hak minoritas;
- Jaminan hak asasi manusia;
- Pemilihan yang bebas dan jujur;
- Persamaan di depan hukum;
- Proses hukum yang wajar;
- Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
- Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
- Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Asas pokok demokrasi
Gagasan pokok
atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada
dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan
gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
- Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
- Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan
demokratis
Pemilihan
umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik.
Dalam
perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh
hampir seluruh negara
di dunia.
Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
- Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
BAB III
PERMASALAHAN
3.1 Sejarah Singkat Tragedi
Trisakti
Kejatuhan
perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 membuat pemilihan pemerintahan
Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi bangsa ini supaya
dapat keluar dari krisis ekonomi. Pada bulan Maret 1998 MPR saat itu walaupun
ditentang oleh mahasiswa dan sebagian masyarakat tetap menetapkan Soeharto
sebagai Presiden. Tentu saja ini membuat mahasiswa terpanggil untuk
menyelamatkan bangsa ini dari krisis dengan menolak terpilihnya kembali
Soeharto sebagai Presiden. Cuma ada jalan demonstrasi supaya suara mereka
didengarkan.
Demonstrasi
digulirkan sejak sebelum Sidang Umum (SU) MPR 1998 diadakan oleh mahasiswa
Yogyakarta dan menjelang serta saat diselenggarakan SU MPR 1998 demonstrasi
mahasiswa semakin menjadi-jadi di banyak kota di Indonesia termasuk Jakarta,
sampai akhirnya berlanjut terus hingga bulan Mei 1998. Insiden besar pertama
kali adalah pada tanggal 2 Mei 1998 di depan kampus IKIP Rawamangun Jakarta
karena mahasiswa dihadang Brimob dan di Bogor karena mahasiswa non-IPB ditolak
masuk ke dalam kampus IPB sehingga bentrok dengan aparat. Saat itu demonstrasi
gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tingi di Jakarta merencanakan untuk
secara serentak melakukan demonstrasi turun ke jalan di beberapa lokasi sekitar
Jabotabek.Namun yang berhasil mencapai ke jalan hanya di Rawamangun dan di
Bogor sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan puluhan mahasiswa luka
dan masuk rumah sakit.
Setelah keadaan
semakin panas dan hampir setiap hari ada demonstrasi tampaknya sikap Brimob dan
militer semakin keras terhadap mahasiswa apalagi sejak mereka berani turun ke
jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi
menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presinden Indonesia saat itu yang
telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut
pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997.
Mahasiswa bergerak
dari Kampus Trisakti di Grogol menuju ke Gedung DPR/MPR di Slipi. Dihadang oleh
aparat kepolisian mengharuskan mereka kembali ke kampus dan sore harinya
terjadilah penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan itu berlansung
sepanjang sore hari dan mengakibatkan 4 mahasiswa
Trisakti meninggal dunia dan puluhan orang lainnya baik mahasiswa dan
masyarakat masuk rumah sakit karena terluka.
Sepanjang malam
tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan
perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta.
Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa. Jakarta
geger dan mencekam.
3.2 Kronologis Tragedi Trisakti
Kronologi Insiden Berdarah di Universitas Trisakti 12 Mei 1998 adalah sebagai berikut :
Pukul 11.00 –
13.00: Aksi Damai ribuan
mahasiswa di dalam kampus.
Pukul 13.00 : Mahasiswa ke luar ke Jalan S Parman dan hendak
menuju ke DPR.
Pukul 13.15 : Dicapai kesepakatan antara petugas dan
mahasiswa, bahwa mahasiswa tidak boleh melanjutkan perjalanan. Tawaran petugas
diterima baik. Mahasiswa melanjutkan aksi di depan bekas Kantor Wali Kota
Jakbar.
Pukul 13.30-17.00
: Aksi Damai Mahasiswa
berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa
ketegangan antara aparat dan mahasiswa.
Pukul 16.30: Polisi memasang police line. Mahasiswa
berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
Pukul 17.00: Diadakan pembicaraan dengan aparat yang
mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk
kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar
mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan
mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib.
Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus.
Saat itu hujan turun dengan deras.
Pukul 17.15: Tiba-tiba ada tembakan dari arah belakang
barisan mahasiswa. Mahasiswa lari menyelamatkan diri ke dalam gedung-gedung di
kampus. Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan
ke dalam kampus.
Pukul 17.15-23.00: Situasi di kampus tegang. Para korban dirawat
di beberapa tempat. Enam mahasiswa Trisakti tewas. Yang luka-luka berat segera
dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota
Komnas HAM datang ke lokasi.
13 Mei 1998 :
Pukul 01.30: Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie
Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya
Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Usakti
Prof Dr Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas, HAM AA Baramuli dan
Bambang W Soeharto. (ama/cc)
Pada hari Selasa, 12 Mei 1998
dimulai kurang lebih jam 10.30 Wib bertempat di halaman parkir kampus A
Universitas Trisakti, Jalan Kyai Tapa Grogol Jakarta Barat, telah diadakan
Mimbar Bebas oleh Senat Mahasiswa Universitas Trisakti yang dihadiri oleh para
Guru Besar, Pimpinan Universitas dan Fakultas, Dosen, Karyawan, Alumni dan
Mahasiswa.
Universitas Trisakti dari berbagai Fakultas berjumlah kurang lebih 6000
orang. Aksi mimbar bebas tersebut berlangsung tertib dengan menggelar Orasi
oleh para guru besar, para Dosen dan para Mahasiswa sendiri, berlangsung sampai
kurang lebih jam 11.30 Wib.
Setelah itu tanpa dapat dibendung , mahasiswa secara berbondong-bondong
pergi meninggalkan kampus keluar ke jalan raya S.Parman degan tujuan mereka
hendak ke gedung MPR/DPR. Namun setibanya di depan kantor Walikota Jakarta
Barat yng berjarak kurang lebih 200 M dari kampus Trisakti, mereka dihadang
oleh Aparat Keamanan.
Semula Aparat keamanan ini hanya terdiri dari 2 lapis, dihadiri juga oleh
Komandan Kodim Jakarta Barat Let.Kol.AMRIL dan Wakil Kapolres Jakarta Barat
Mayor Herman. Para Mahasiswa meminta agar diadakan negosiasi yang isinya agar
mereka diijinkan berbaris secara tertib menuju Gedung MPR/DPR dengan dikawal
oleh Pasukan Keamanan yang ada.
Para Mahasiswa diwakili oleh Dekan Fakultas Hukum Adi Andojo Soetjipto SH
mengadakan negosiasi dengan Komandan Kodim Jakarta Barat Let.Kol. Amril
tersebut. Namun negosiasi tidak berhasil karena Dan.Dim mengatakan adalah
perintah atasan bahwa mahasiswa tidak diperkenankan turun ke jalan disebabkan
oleh kemungkinan terjadinnya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan
kerusakan yang tak diinginkan.
Berhubung negosiasi tak berhasil, dekan Fakultas Hukum meminta pada para
mahasiswa agar berhenti di tempat dan tidak maju lagi. Para mehasiswa menuruti
anjuran Dekan Fakultas Hukum tersebut. Mereka lalu menyanyi dan meneriakkan
yel-yel, akan tetapi semuanya itu dilakukan secara tertib meskipun harus diakui
bahwa lalu lintas arah Grogol menuju Senayan memang menjadi macet. Sementara
itu pasukan keamanan ditambah jumlahnya dengan 2 Truk dan 5 Panser oleh Arthur
Damanik.
Kurang lebih jam 15.30 WIB, ada pemberitahuan dari pihak keamanan bahwa unjuk rasa mahasiswa hanya diberi
waktu sampai jam 16.00 WIB. Dekan Fakultas Hukum dengan ditemani oleh Dekan Fakultas Ekonomi DR.
Chairuman, datang di tempat dimana para mahasiswa tadi berkumpul di jalan
S.Parman jumlahnya tinggal kurang lebih 1000 orang karena yang selebihnya sudah
meninggalkan tempat. Dekan Fakultas Hukum dan Dekan Fakultas Ekonomi berusaha
membujuk para mahasiswa untuk membubarkan diri dan kembali ke kampus. Para
Mahasiswa menuntut agar para pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih
dahulu.
Karena tak diperintahkan oleh komandannya sudah barang tentu mereka tidak
mau mundur . Mahasiswa minta agar komandannya dipanggil untuk naik ke atas meja
dan bertemu dengan para mahasiswa. Akhirnya Kapolres Jakarta Barat (Let. Kol
Timor Pradopo) dan Dan.Dim Jakarta Barat (Let. Kol. Amril) memenuhi keinginan
mahasiswa dengan memanjat ke atas meja. Kapolres Jakarta Barat dalam
sambutannya menyatakan rasa terima kasihnya bahwa mahasiswa sudah melakukan
aksi unjuk rasa itu dengan tertib. Hal ini dengan tegas diucapkan oleh Kapolres
Jakarta Barat tersebut.
Selanjutnya barisan keamanan diperintahkan untuk mundur jauh kebelakang
kurang lebih 200 meter. Setelah para mahasiswa dihimbau oleh Dekan Fakultas
Hukum dan Dekan Fakultas Ekonomi, akhirnya mereka juga mau membubarkan diri secara
perlahan-lahan dan tertib kembali ke kampus hal ini ditambah dengan hujan yang
turun dengan derasnya.
Sebagian masih tertahan di luar kampus sebagaimana layaknya kalau pulang
kuliah, memesan makanan di pedagang yang banyak berjualan di luar kampus. Saat
itu hujan sudah mulai reda. Disaat mahasiswa sebagian berjalan kembali ke
kampus, tiba-tiba terdengar suara tembakan yang mengakibatkan mahasiswa yang
telah berada di dalam kampus kembali bergerak menuju gerbang kampus.
Massa mahasiswa didesak oleh petugas untuk masuk ke dalam kampus dengan
mengeluarkan tembakan-tembakan. Petugas telah berada di luar areal kampus
bahkan di jalan layang yang berhadapan dengan kampus Universitas Trisakti.
Tembakan dilakukan oleh aparat tidak hanya terbatas pada peluru karet tetapi
juga peluru tajam dan puluhan gas air mata dilemparkan kedalam kampus Trisakti.
Hal ini terbukti dengan diketemukannya selongsong peluru dan bekas gas air
mata.
Puluhan mahasiswa yang berlarian ke dalam kampus ditembaki dari luar kampus
dan sampai dengan jam 23.25 Wib, Enam Mahasiswa Trisakti meninggal dunia
disamping Enam Belas Mahasiswa dirawat di rumah sakit terdekat berdasarkan
data-data yang terkumpul dari petugas Universitas Trisakti.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan : Konflik
sebenarnya tidak perlu terjadi sebab hal tersebut dapat menjadikan hubungan
antar anggota atau individu menjadi kurang harmonis. Selain itu konflik juga
menyebabkan perubahan kepribadian antar individu sehingga menimbulkan rasa
dendam, benci, ketidakpengertian, kecurigaan, serta hilangnya rasa kemanusiaan.
Saran :
a. Pemerintah perlu
mengadakan penyelidikan lebih lanjut mengenai peristiwa Trisakti 1998
b. Pemerintah juga
perlu menindaklanjuti kasus-kasus lain yang terkait dengan tragedi Trisakti,
agar di kemudian hari peristiwa yang serupa tidak terulang lagi.
c. Pemerintah harus
segera memberikan jaminan bagi para saksi dan korban dengan membuat
undang-undang.
d. Pemerintah harus
memberikan rehabilitasi dan kompensasi kepada seluruh saksi, korban, dan
keluarga kerusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar